Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sekitar 43 persen kanker dapat dicegah. Dan
sepertiganya dapat disembuhkan bila dijumpai secara dini. Hanya saja, untuk
kanker ovarium, dua pertiga kasus justru dijumpai pada stadium lanjut.
Bila dijumpai dalam stadium lanjut, tingkat harapan hidupnya menjadi
rendah.
Di Amerika Serikat, kanker ovarium menjadi penyebab kematian utama pada kanker ginekologi di Amerika Serikat. Angka kematian ini lebih besar dibandingkan kanker serviks. Hal tersebut disampaikan dr. Sedya Dwisangka, M.Epid., Kepala Seksi Standarisasi Subdit Kanker, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan, Kementerian Kesehatan, dalam peluncuran kampanye edukasi tentang kanker ovarium di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pada awalnya, kanker tersebut tidak memberikan gejala. Karenanya, banyak pasien datang dengan kondisi lanjut. Mengutip data dari Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), Januari-Desember 2014, dari 375 kasus yang ada, 60 persen ditemukan pada stadium lanjut.
Bila diketahui dalam stadium lanjut, "5 years survival rate untuk kanker ovarium stadium kurang dari 20 persen," terang dr. Sedya. Sementara saat kanker ovarium dijumpai pada stadium 1, 5 years survival rate sekitar 70-90 persen. Namun sayangnya, relatif sedikit kanker ovarium yang dijumpai pada stadium dini.
Tidak seperti kanker serviks dan payudara yang dapat dideteksi dini melalui metode IVA (inspeksi visual asam asetat), pap smear, SADARI (pemeriksaan payudara sendiri), maupun SADANIS (pemeriksaan payudara klinis), metode deteksi dini pada kanker ovarium masih terbilang sulit, bahkan bisa dibilang tidak ada. Karenanya, mengetahui faktor risiko serta simtom yang umum dijumpai pada kanker ovarium perlu dicermati.
Mereka yang tidak pernah hamil, memiliki mutasi genetik yang diturunkan seperti Breast Cancer Gene 1 dan 2 (BRCA1 serta BRCA2), memiliki riwayat kanker ovarium di keluarga, serta pernah mengalami kanker payudara atau kanker kolorektal, dikatakan Prof. Dr. dr. Andrijono, Sp.OG(K), yang ditemui di tempat yang sama, berisiko untuk kanker ovarium.
"Hubungan kanker payudara dan ovarium ini terkait dengan hormon. Sementara tidak hamil, terkait dengan ovulasi," terang Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI).
Ovulasi ini, lanjut Prof. Andrijono, yang menghubungkan dengan kanker ovarium. Itu sebabnya, saat seorang perempuan hamil, mereka tidak mengalami ovulasi. Begitu juga ketika menggunakan pil KB, ovulasi tidak terjadi sehingga risiko kanker ovarium menurun.
“Titiknya ada pada
ovulasi. Untuk itu, hamil, mengonsumsi pil kontrasepsi, mengikat saluran tuba,
mengangkat ovarium pada yang berisiko, dan mengadopsi pola makan rendah lemak
menjadi faktor penurun risiko kanker ovarium," jelas Prof. Andrijono.
Sumber: kompas.com